Bagaimana Manajemen MatahariMall
Sebagai bagian dari Lippo Group, manajemen MatahariMall dipenuhi orang-orang dengan pengalaman panjang. Namun hal ini tidak membuat mereka cuma mengandalkan intuisi para pemimpinnya. Seperti diungkapkan Komang Arthayasa (CTO MatahariMall), intuisi itu dipadukan dengan keputusan berbasis data. “Kami ingin agar keputusan kita tidak sekadar top to bottom enforcement, namun merupakan collective decision,” ungkap Komang. Komang melihat, pendekatan berbasis intuisi dan data bisa dipadukan. “Keduanya bisa kolaborasi dan saling dukung,” ungkap Komang.
Hal itu juga menghindarkan MatahariMall dari budaya HIPPO atau highest paid person opinion. “Setiap orang punya inisiatif dan perspektif sendiri, namun kemudian mentah gara-gara highest paid person memiliki opini berbeda,” ungkap Komang mengungkapkan kelemahan budaya HIPPO. Karena itulah, MatahariMall mendorong setiap orang, apapun levelnya, untuk selalu berani beradu argumentasi berbasis data. “Eveyone can challenge everyone about everyting,” ungkap Komang menceritakan mantra MatahariMall. Meskipun memiliki posisi CTO, Komang mengaku tidak berkeberatan tim di bawahnya mempertanyakan keputusannya. “Yang penting setiap orang harus menggunakan data untuk menyampaikan opininya,” ungkap Komang. Kultur ini terus disuntikkan MatahariMall kepada seluruh tim melalui pendekatan dari atas ke bawah menggunakan role model strategy. “Kami tidak bisa membiasakan orang technical yang biasa coding kemudian harus bicara dengan data, jadi kami harus based on example,” ungkap Komang menceritakan tantangannya. Karena itu, strategi menularkan kultur itu harus dilakukan dengan memberi contoh, yang diharapkan akan membangun data-driven culture untuk semua level karyawan. “Jadi orang punya pemahaman dan intepretasi yang sama tentang data,” tambah Komang. Untuk implementasinya sendiri, MatahariMall berangkat dari masalah. Setiap masalah akan dibuatkan analisisnya berdasarkan data.
Pihak-pihak yang berkepentingan akan diberi raw data sehingga bisa membuat analisis. “Setiap orang bebas menginterpretasikan data,” ungkap Komang, untuk menekankan bahwa tidak ada pihak yang hasil analisisnya dianggap lebih penting dari yang lainnya. Dari hasil analisis, muncul hipotesis. Nanti akan dipilih dua hipotesis terbaik berdasarkan keputusan bersama dan tujuan besar yang telah ditentukan sejak awal, yaitu profitability. Kedua hipotesa itu kemudian diuji ke kondisi sesungguhnya, sambil dihitung cost benefit analysis dari setiap hipotesis itu. Sebagai perusahaan e-commerce, Komang mengaku tidak pernah mengalami kekurangan data. “Kalau bicara data, e-commerce is like heaven,” ungkap Komang sambil tersenyum lebar.
Apalagi saat ini, teknologi sudah banyak tersedia sehingga memudahkan proses pengumpulan data. Komang sendiri tidak membatasi data apa yang bisa disimpan. “We try to track everything to measure everything possible,” ungkap Komang. Ia juga mengaku beruntung karena MatahariMall adalah bagian dari grup Lippo yang memiliki jaringan offline yang bagus. Dari budaya berbasis data yang dicoba dibangun MatahariMall, Komang melihat beberapa keuntungan. “Saya kira manfaat paling besar adalah setiap keputusan menjadi keputusan bersama,” tambah Komang. Setiap kesuksesan— maupun kegagalan—dari keputusan adalah tanggung jawab bersama. Keuntungan lain adalah pertumbuhan bisnis. Berdasarkan analisis data, terungkap konsumen MatahariMall dari Papua ternyata cukup besar. “Tanpa data, mungkin kami tidak akan tahu hal ini,” ungkap Komang. Berdasarkan data kanal distribusi, terungkap bahwa pengakses MatahariMall mayoritas berasal dari komputer desktop. “Kenapa desktop lebih besar dari mobile dan apps? Jadi muncul hipotesa mungkin user experience kami di mobile itu jelek. Dari situ muncul inisiatif,” cerita Komang. Komang mengakui bahwa membangun data-driven culture itu banyak tantangannya. Salah satunya adalah knowledge. “Meskipun sudah coba kumpulkan data, kami sering kali tidak tahu bagaimana memanfaatkannya,” ujar Komang.
Tantangan lain adalah menyakinkan setiap level organisasi untuk memanfaatkan data. “Ke bawah oke, namun ke atasnya itu yang agak sulit,” ungkap Komang. Namun membangun kultur memang membutuhkan waktu. Yang penting adalah, setiap orang sadar untuk membentuk kultur tersebut. Salah satu caranya adalah melakukan secara berulang agar kultur itu lama-lama terbentuk. “Jadi bagaimana caranya agar inisiatif ini bisa kita lakukan secara repetitif, dari top to bottom, dan melibatkan semua orang,” ungkap Komang.
- Fungsi Handycam Vs Kamera, Pilih yang Mana ? - December 16, 2024
- Kamera DSLR Canon dengan Wifi | SLR Termurah Fitur Lengkap - December 16, 2024
- Kamera Saku Layar Putar Murah Berkualitas Resolusi 4K Untuk Vlog & Selfie - December 15, 2024