Perkembangan 5G di Indonesia Tahun ini - Demi menggenjot potensi ekonomi, Pemerintah Indonesia terus memperluas jaringan internet cepat di seluruh Indonesia. Teknologi 5G menjadi alternatif menarik untuk mengakselerasi mimpi itu. TAHuN 2019 kemarin, Pemerintah Indonesia mencatat pencapaian istimewa dalam aspek pembangunan infrastruktur. Melalui proyek Palapa Ring, kini semua kota dan kabupaten di Indonesia memiliki jaringan internet pita lebar atau broadband. Akan tetapi, Palapa Ring tidak serta merta menyelesaikan tantangan infrastruktur jaringan di Indonesia. Secara desain, proyek Palapa Ring hanya menjangkau kota dan kabupaten, namun belum sampai ke last mile seperti kawasan industri atau rumah warga. Karena itu, dibutuhkan pembangunan infrastruktur tambahan yang menjangkau titik terjauh itu. Biasanya, perluasan infrastruktur jaringan dilakukan dengan membangun jaringan serat optik. Namun Mohamad Rosidi (ICT Strategy and Business Huawei Indonesia) melihat teknologi 5G bisa menjadi solusi. “Kita dapat mengkolaborasikan fxed wireless berbasis 5G dengan jaringan fber,” ungkap Rosidi.
Manfaatkan Momentum
Ada banyak alasan mengapa teknologi 5G dapat mengakselerasi perluasan jaringan internet di negara yang luas seperti Indonesia. Yang utama adalah ekosistem 5G yang relatif lebih cepat terbentuk dibanding 4G atau 3G. “Saat ini jaringan 5G sudah ada, perangkatnya juga langsung tersedia,” ungkap Rosidi. Hal ini berbeda dengan teknologi 4G yang membutuhkan waktu dua tahun antara munculnya jaringan dan ketersediaan perangkat pendukung. Bahkan dalam tiga tahun ke depan, smartphone 5G diperkirakan menyentuh angka US$300 yang relatif terjangkau untuk sebagian besar konsumen. Teknologi 5G juga memiliki banyak pilihan frekuensi untuk berbagai skenario. Untuk kawasan perkotaan yang padat, teknologi 5G bisa memanfaatkan frekuensi millimeter wave atau C-Band. Sementara untuk kawasan pedesaan atau terpencil, teknologi 5G bisa memanfaatkan frekuensi 700 atau 800 MHz. Agar dapat mengimplementasikan 5G, Rosidi melihat ada dua tantangan utama yang harus dijawab, yaitu spektrum dan infrastruktur.
Di Indonesia sendiri, masalah spektrum ini masih menjadi kendala sendiri. Contohnya frekuensi 700MHz yang saat ini masih digunakan untuk siaran televisi analog. Soal biaya penggunaan spektrum juga harus dikaji mendalam. Hal ini penting untuk memberikan insentif ekonomi bagi operator dalam mengimplementasikan 5G. Soal ini, Rosidi menunjuk beberapa contoh negara lain yang bisa dicontoh. “Di China, misalnya, di tahun 1 sampai 3 tidak ada licence fee. Baru di tahun 4 dan seterusnya, biaya lisensi naik 25% tiap tahun,” ungkap Rosidi. Sementara di Inggris, biaya lelang frekuensi 5G hanya 5% dibanding 3G. Sedangkan di infrastruktur, tantangan terbesar adalah bagaimana operator dapat membangun jaringan 5G dengan seefsien mungkin. Soal ini, Rosidi menyodorkan ide Open Public Infrastructure. “Jadi infrastruktur bisa digunakan bersama-sama (oleh semua operator),” tambah Rosidi. Rosidi menegaskan, fxed wireless berbasis 5G tidak akan menggantikan jaringan serat optik. “Namun keduanya bisa saling melengkapi untuk mempercepat perluasan infrastruktur internet,” tambah Rosidi
- Hotel di Area Kuningan Jakarta - November 24, 2024
- Membuat Hiasan Dinding dari Barang Bekas - November 24, 2024
- Rekomendasi Hotel Keluarga di Kuta Bali - November 24, 2024