Begini Cara untuk Membangun Startup Unicorn Sendiri - Hingga Juni 2019, Indonesia tercatat memiliki 4 startup Unicorn, atau perusahaan rintisan yang memiliki valuasi di atas US$1 miliar atau sekitar Rp14,4 triliun. Keempat perusahaan itu adalah Go-Jek, Tokopedia, Traveloka, dan Bukalapak. Prestasi ini cukup membanggakan, karena di antara 7 startup Unicorn di Asia Tenggara, 4 di antaranya dari Indonesia. Perkembangan terbaru datang dari Go-Jek yang belum lama ini dinobatkan sebagai Decacorn, alias perusahaan rintisan dengan valuasi di atas US$10 miliar. Namun, hingga saat ini Unicorn baru belum muncul lagi sehingga menjadi perhatian pemerintah yang menargetkan lahirnya Unicorn kelima pada tahun 2019.
Presiden Joko Widodo sendiri berharap jumlah startup Indonesia yang menjadi Unicorn akan bertambah. Hal itu disampaikan dalam debat capres Februari yang lalu. Strategi pemerintah untuk menambah jumlah Unicorn di Indonesia, antara lain, dengan menjanjikan lebih banyak daerah yang tersambung dengan internet, dan memberikan insentif pajak dan fasilitas. Pemerintah juga telah membentuk komite agar tercetak perusahaan-perusahaan Unicorn baru. Disebut program Next Indonesia Unicorn, komite ini antara lain beranggotakan Menteri Komunikasi dan Informatika (Kominfo) Rudiantara, Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) Thomas Lembong, dan para pendiri Unicorn Indonesia seperti Nadiem Makarim (pendiri Go-Jek), dan William Tanuwijaya (pendiri Tokopedia).
Jalan Panjang Unicorn
Menjadi Unicorn tentu saja menjadi tujuan para pendiri perusahaan startup. Siapa yang tidak ingin layanannya digunakan oleh jutaan orang di seluruh Indonesia, bahkan mendunia? Namun, hanya sangat sedikit startup yang dapat mencapai status Unicorn. Dikutip dari laporan Startup Ranking tahun 2018, Indonesia memiliki 1.705 startup. Sedangkan Amerika Serikat memiliki 28.794 startup dan India 4.713 startup. Mari kita bandingkan dengan jumlah Unicorn di Amerika Serikat yang saat ini mencapai 180 dan India yang terdapat 16 Unicorn. Hal ini menunjukkan rasio Unicorn dibanding jumlah startup di Indonesia adalah: 4/1.705 atau sekitar 0,2%. Di Amerika Serikat 0,6%, dan di India 0,3%. Tentu saja sebuah startup tidak serta-merta menjadi Unicorn. Perjalanan menjadi Unicorn dimulai dari sebuah ide miliaran dolar, yaitu sebuah ide yang menjawab masalah-masalah riil yang dihadapi banyak orang. Dalam buku How to Build a Billion Dollar App, George Berkowski memberi semacam panduan perjalanan menjadi sebuah Unicorn. Dimulai dari sebuah ide besar, lalu sebuah aplikasi menjadi berharga 1 juta dolar, 10 juta dolar, 100 juta dolar, 500 juta dolar, hingga menjadi 1 miliar dolar alias Unicorn. Dalam tiap fase tersebut tantangan yang dihadapi sebuah perusahaan akan berbeda-beda.
acuan Menemukan ide Besar
Menurut Berkowski, salah satu pendekatan untuk menemukan ide besar adalah memahami apa yang suka dilakukan orang-orang (what people love to do), dan apa yang perlu dilakukan orang-orang (what people need to do). Hal ini berbeda-beda secara geograf maupun tipe kepribadian, tetapi menurut Donald Brown, professor University of California, ada serangkaian atribut yang membedakan manusia, dan yang mencirikan manusia. Disebut 67 human universals, atribut ini berlaku untuk semua budaya di seluruh dunia. Berikut tabel ke-67 atribut yang universal dalam diri tiap manusia (ditampilkan sesuai aslinya dalam Bahasa Inggris): Berkowski menganjurkan bahwa kita dapat menggunakan daftar di atas sebagai titik awal. Ketika ide kita berhubungan dengan masalah manusia secara universal, potensi pasar akan jauh lebih besar dibanding sesuatu yang spesifk lokasi tertentu atau kelompok tertentu. Apabila dilihat dari daftar tersebut, masih banyak sekali potensi untuk membuat aplikasi Unicorn. Mengacu pada daftar Unicorn yang dikeluarkan oleh CB Insight 2019, dari 361 Unicorn di dunia saat ini, sebanyak 43 perusahaan di antaranya bergerak di bidang e-commerce. Setelah e-commerce adalah sektor fntech, yaitu sebanyak 42 perusahaan, yang berarti masih banyak peluang di sektorsektor lain untuk berkembang menjadi Unicorn. Berkowski juga mengingatkan bahwa ide besar saja tidak cukup.
Untuk muncul di antara kerumuman dan mendapatkan perhatian, kita perlu membuat sesuatu yang segar, inovatif, dan disruptif. Jangan hanya mencoba membuat sesuatu yang lebih baik, dengan sedikit perbaikan saja. Sebuah ide yang disruptif adalah ide yang mendatangkan perubahan yang signifkan, sebuah ide yang sulit diikuti oleh para pemain yang sudah ada. Di sini terdapat faktor “wow”, produk tersebut akan membuat penggunanya merasa “wow”. Hanya produk yang membuat penggunanya merasa “wow” yang akan muncul ke permukaan dan menonjol. Produk tersebut juga akan dibicarakan orang-orang dan akan direkomendasikan. Berkowski memberi contoh aplikasi WhatsApp, sebuah aplikasi perpesanan yang dibutuhkan oleh semua orang. Pada saat WhatsApp diluncurkan, ada banyak aplikasi dan layanan serupa.
Namun, WhatsApp berhasil mendisrupsi pasar dengan membuat aplikasi yang setidaknya 10 kali lebih baik, lebih mudah dipahami, dan digunakan oleh banyak orang. Pengguna menginginkan aplikasi yang dapat mengirim pesan yang sederhana, cepat, dan berguna. Mereka juga ingin semua teman mereka menggunakannya, dan WhatsApp memberikan semua itu. Selain WhatsApp, contoh ide disruptif lain adalah SnapChat, yang mengguncang dengan memberikan anonimitas kepada penggunanya. Hal itu ternyata disukai oleh anak-anak muda. Setelah menemukan ide besar dan disruptif, maka perjalanan pun dimulai. Mulai dengan menentukan model bisnis, menemukan co-founder, dan membangun tim, lalu membuat prototipe untuk memvalidasi ide, dan seterusnya.
- Fungsi Handycam Vs Kamera, Pilih yang Mana ? - December 16, 2024
- Kamera DSLR Canon dengan Wifi | SLR Termurah Fitur Lengkap - December 16, 2024
- Kamera Saku Layar Putar Murah Berkualitas Resolusi 4K Untuk Vlog & Selfie - December 15, 2024