Cara Melawan Pembajakan Online
TAK BISA DISANGKAL, PEMBAJAKAN ADALAH AKTIVITAS ILEGAL. JUGA TAK BISA DIBANTAH ADALAH KENYATAAN BAHWA PEMBAJAKAN DIGITAL ADALAH KEGIATAN YANG UMUM DILAKUKAN DI MASA INI. DAN KETIKA HUKUM DAN UNDANG-UNDANG GAGAL MEMBENDUNG PENCURIAN HAK ATAS KEKAYAAN INTELEKTUAL, APA TINDAKAN SELANJUTNYA YANG BISA DILAKUKAN PIHAK BERWENANG?
Awal Tahun 2013empat agen bersenjata lengkap turun di atap sebuah rumah mewah di sebuah daerah di Selandia baru. Pada saat bersamaan, beberapa agen membawa anjing menyerbu dengan cepat ke tempat target mereka bersembunyi. Semua itu di bawah koordinasi Federal Bureau of Investigations, lembaga yang bernaung di bawah Department of Justice Amerika Serikat. Siapa yang mereka kejar? Teroris internasional? Raja kartel obat bius? Bukan. Target operasi pada dini hari itu adalah Kim Dotcom. Terlahir di Jerman dengan nama Kim Schmitz dia juga dikenal dengan nama Kimble dan Kim Tim Jim Vestor, Kim Dotcom adalah pengusaha internet serta dikenal sebagai pendiri Megaupload. com.
Dotcom bukanlah orang suci. Dia memiliki catatan panjang terkait dengan beberapa aktivitas pencurian dan penjualan calling card ketika masih anak-anak. Seiring usia dia kemudian juga terlibat sebagai insider trading, dan aneka tindak kriminal lain. Semua itu kemudian menggiringnya untuk lari ke Thailand dan Hong Kong sebelum akhirnya menetap di Selandia Baru. Megaupload.com pernah berada di posisi 13 URL yang paling banyak dikunjungi, dengan user mencapai 180 juta. Dotcom menyatakan bahwa website itu merupakan penyimpanan file dan content viewing legal. Department of Justice Amerika Serikat mengklaim bahwa situs itu mengacu dan mengarah pada pelanggaran hak cipta. Karenanya, FBI menuduh Dotcom melanggar hak cipta dengan ancaman denda mencapai US$ 500 juta, tuduhan yang disangkal Dotcom. Dotcom menggambarkan perusahaannya sebagai berikut: “Megaupload adalah penyedia layanan penyimpanan cloud. Situs utama perusahaan ini, Megaupload. com menawarkan platform penyimpanan berbasis Internet bagi konsumen, perusahaan maupun individu. Platform penyimpanan memungkinkan pengguna untuk menyimpan file di Internet ‘cloud’ dan menggunakan, jika perlu, kapasitas online dan bandwith.” Dengan kata lain, Megaupload memungkinkan penggunanya untuk mengunggah data, informasi dan file yang bisa diunduh kemudian. Namun, layanan penyimpanan file secara online juga bisa digunakan untuk mendistribusikan dan menyebarkan material dengan hak cipta.
Contohnya, sebuah lagu bisa diunggah ke cloud dan kemudian diunduh oleh orang lain tanpa membayar hak atas kekayaan intelektual pemilik lagu itu; ini adalah pembajakan. Megaupload ditutup dan Kim Dotcom ditangkap awal 2012. Asetnya yang mencapai sekitar US$ 17 juta, dibekukan. Diangap beresiko tinggi, dia ditahan di penjara Mount Eden tanpa jaminan. Lebih dari sebulan hingga akhirnya dia bisa menjungkir balikkan aturan tersebut dan dibebaskan dengan jaminan. Keputusan untuk mengekstradisinya ke Amerika Serikat atau tidak akan ditentukan pada Maret 2013. Selagi kasus ini dalam proses, pengadilan Selandia Baru menemukan bahwa otoritas setempat, New Zealand Government Communications Security Bureau, secara ilegal memata-matai Dotcom, membantu polisi menemukan lokasi dan memonitor komunikasinya selama dalam penggerebekan. Dalam kejadian tersebut, harddrive milik Kim Dotcom disita, dikloning dan datanya dikirim ke Amerika Serikat, yang berarti melanggar undang-undang ekstradisi. Surat penggeledahan yang digunakan untuk menggerebek belakangan ternyata dinyatakan tidak sah dan ‘terlalu luas’ oleh Pengadilan Tinggi Selandia Baru. Apakah Megaupload merupakan perusahaan legal atau situs pembajakan tergantung dari keputusan pengadilan. Namun, ada pertanyaan yang muncul: Perlukah prosedur seperti itu untuk seseorang yang dianggap mengancam keamanan nasional, yang kemudian dituduh tanpa bukti sebagai pembajak? Apakah kebebasan Kim Dotcom telah dicederai demi memasukkannya ke dalam tahanan? Namun yang lebih penting adalah, apa yang bisa kita ambil dari kejadian itu terkait dengan masa depan hak cipta di masa depan?
Tindakan terhadap Kim Dotcom dan Megaupload hanyalah satu contoh yang dilakukan pemerintah untuk menghilangkan pembajakan internet. Sementara cara keras yang dilakukan adalah sebentuk pesan kepada publik bahwa pembajakan tak akan ditolerir, pemerintah di seluruh dunia tahun lalu juga menghabiskan banyak waktu merancang aneka kebijakan yang mereka percaya bisa ampuh untuk menuntaskan problem tersebut. Produsen konten menyatakan bahwa pembajakan dan pelanggaran hak cipta merugikan industri hingga milyaran dollar.
Pernyataan yang masih bisa diperdebatkan. Namun dampaknya cukup signifikan bagi beberapa perusahaan sehingga mendorong mereka melakukan lobi kepada pihak berwenang demi mengamankan kepentingan mereka. Salah satu hasil kerja mereka adalah Stop Online Piracy Act (SOPA). Diperkenalkan oleh U.S. Representative Lamar S. Smith, SOPA adalah hukum yang dibuat demi keleluasaan lembaga hukum Amerika untuk melawan pembajakan online dan distribusi barang palsu. Keputusan untuk menggabungkan pelanggaran hak cipta dan perdagangan barang palsu merupakan hal yang paling hangat dibicarakan. Sementara membuat produk palsu selalu dilakukan dengan unsur kesengajaan, Anda bisa melakukan pelanggaran hak cipta tanpa menyadarinya. Misalnya, jika Anda mengunggah sebuah video rekaman Anda sendiri dengan latar belakang suara lagu populer, Anda bisa dikenakan pasal pelanggaran hak cipta karena tak memiliki hak untuk menyiarkan lagu itu di ranah umum. SOPA ditujukan sebagai ekspansi hukum di Amerika Serikat termasuk di dalamnya streaming konten tanpa hak cipta resmi, yang diancam hukuman lima tahun penjara.
Lebih jauh, menurut pasal 102 SOPA, pemerintah Amerika Serikat juga memiliki dispensasi untuk meminta kepada penyedia layanan internet untuk mengubah DNS server mereka, sehingga website di negara lain yang dituduh terlibat pembajakan tidak bisa diakses. Pemerintah juga mempunyai kekuatan untuk memerintahkan mesin pencari seperti Google memodifikasi hasil pencarian untuk tidak menyertakan website dari negara asing yang menjadi host material yang di-copy secara ilegal. Layanan pembayaran seperti Paypal juga bisa diperintahkan untuk menutup akun pembayaran milik website tertuduh. Seperti ketentuan terkait dengan sensor internet dan kebebasan berbicara – hak yang tak bisa dicabut menurut UN Universal Declaration of Human Rights. SOPA juga menerobos batas proteksi ‘pelabuhan aman’ dari tanggung jawab yang ditawarkan berdasarkan Digital Millenium Copyright Act buatan 1998. Menurut pasal 512 DCMA, penyedia layanan online mendapat perlindungan atas tuntutan pelanggaran hak cipta yang diakibatkan oleh perilaku konsumen mereka. Mengingat sistem ancaman dan hukuman DCMA pada pelanggaran konten tidak optimal, itu memberi dampak yang besar atas kesuksesan situs seperti YouTube, yang bergantung pada konten penggunanya.
Pada kenyataannya, di bawah SOPA, penduduk Amerika Serikat tak akan bisa mengakses situs luar negeri seperti The Pirate Bay, karena pemerintah punya otoritas untuk memerintahkan ISP agar membuat URL situs itu tak bisa diakses. Aspek terburuk SOPA adalah batasan tindakan yang dilakukan. Hukuman dialamatkan tidak ke pusat penyebab pembajakan dan terfokus pada instansi pelanggar hak cipta setelah kejadian. Memang ditujukan hanya untuk wilayah Amerika Serikat tapi tidaklah sulit untuk membayangkan negara lain mengadopsi kebijakan serupa jika semua itu sukses. Akibatnya adalah hukuman yang keras atas pembajakan dan tanggung jawab bagi penyedia layanan online, begitu juga dengan sensor web dan pelanggaran atas kebebasan berbicara di seluruh penjuru dunia. Setelah penerapan SOPA, banyak penyedia layanan online mengajukan nota keberatan; termasuk Google, Facebook, Tumblr dan Twitter. Wikipedia mematikan layanannya selama 24 jam sebagai tanda protes mereka atas SOPA.
Di bawah ancaman keras dari para pemrotes, pihak pendukung SOPA menunda semua tindakan atas peraturan tersebut.
TIGA KALI DAN ANDA ‘DIBUANG’ DARI INTERNET
Sementara SOPA mungkin belum sukses dilaksanakan, perlakuan terhadap Kim Dotcom dan Megaupload, jika tidak secara harfiah maka secara metafora, bisa tetap diterima sebagai respon atas semua tertuduh yang terlibat dalam pelanggaran hak cipta dan pembajakan. Dalam skala global, beberapa negara mengajukan proposal perjanjian perdagangan internasional, yang dinamai Anti-Counterfeiting Trade Agreement atau ACTA. Banyak negara termasuk Singapura menandatangani, dengan Jepang yang pertama kali mengesahkannya. Jika lima negara lagi mengikuti Jepang dan secara formal menyetujui pakta multinasional itu maka efek ACTA akan mulai terasa.
Seperti SOPA, perlakuan ACTA terhadap pelanggaran hak cipta dan perdagangan produk palsu akan sama. Pakta perdagangan itu mengharuskan para penandatangannya menjatuhkan hukuman dalam bentuk denda dan penjara bagi mereka yang dituduh membajak hak cipta berbasis ‘skala komersial’ dan juga kepada mereka yang ‘membantu dan menjadi kaki tangannya’. Untungnya ‘skala komersial’ dan ‘membantu dan menjadi kaki tangannya’ sudah dijabarkan secara jelas.
Kata-kata yang biasa dapat memberi efek bagi siapapun dari para pengunduh, situs online dan ISP bisa menjadi tertuduh. Menurut Knowledge Ecology International, ACTA melebihi TRIPS, perjanjian hak cipta yang secara detil tertuang pada World Trade Organization, dan menghasilkan realisme baru atas tanggung jawab layanan yang ada di web. Untuk individu, ACTA menerapkan kebijakan Three Strike Disconnection bagi ‘pelanggar hak cipta berseri.’ Gampangnya, jika Anda kedapatan mengunduh file ilegal pada tiga kesempatan berbeda maka ACTA bisa memblokir Anda dari internet. Hukuman berat setara dengan mereka yang mengancam keamanan nasional terkait dengan aktivitas di internet juga bisa dikenakan bagi seseorang yang mengunduh lagu secara ilegal. Meski belum diterapkan resmi, ACTA pasti akan mendorong ISP untuk mengimplementasikan kebijakan Three Strikes Disconnection bagi pengguna yang kedapatan melanggar undang-undang hak cipta jika ISP ingin membatasi tanggung jawab mereka terkait dengan persoalan itu. Di atas semua itu, komite ACTA bisa menerapkan hukum perdagangan berbeda dari hukum dan aturan masing-masing negara, yang secara efektif akan menghilangkan batasan perbedaan demokrasi menurut ACTA.
INTERNET BUKANLAH SEKEDAR PIRATE BAY
Internet Telecommunications Union (ITU), lembaga khusus PBB, bertemu di Dubai untuk mempertimbangkan batasan di Internet. Konferensi itu menyetujui standar Y.2770 baru yang memungkinkan pemeriksaan mendalam pada jaringan generasi mendatang. Ini berarti mengesahkan pemerintah untuk mengakses data mengenai stasistik pengguna, tanpa mempertimbangkan norma dan kebijakan terkait privasi. Vinton Cerf, salah satu penemu protokol jaringan TCP/IP yang merupakan gugusan pembentuk Internet menyatakan keberatannya atas keputusan ITU tersebut. Proteksi atas hak cipta dan hak atas kekayaan intelektual sangatlah dibutuhkan di era digital ini, lebih dari sebelumnya.
Pembajakan harus dihentikan sehingga para pembuat konten bisa mendapatkan hak mereka. Namun semua itu baru sebatas slogan mengingat pemerintah berusaha mencegah pembajakan dan pelanggaran hak cipta dari balik pintu yang tertutup. Hasilnya adalah tekanan yang menguat kepada penyedia layanan Internet agar mereka mengatur jaringan mereka, seperti yang terlihat dengan ACTA dan SOPA, seiring dengan makin ketat dan kerasnya hukuman bagi individu. Langkah itu hanya menyentuh lapisan terluar pembajakan tanpa menyentuh dasarnya. World Wide Web berkembang berkat kolaborasi ilmuwan dan para ahli.
Berkembang makin pesat berkat kenyataan bahwa siapapun yang ingin berkontribusi bisa melakukan hanya dengan masuk ke dalamnya. Di sana ada jutaan platform tersedia, dengan kenyamanan dan skala yang tak pernah ada sebelumnya, sepanjang sejarah manusia. Upaya pemerintah terlihat seperti bertentangan dengan formula ini. Mereka berusaha membatasi kontribusi individu dan penyedia layanan online atas nama kekayaan intelektual dan undangundang hak cipta. Dengan menetapkan nilai yang sangat tinggi atas pembajakan, mereka mencoba melarang apa yang diyakini oleh mereka sebagai tindakan haram dan ilegal. Padahal jika pemerintah serius melawan pembajakan, mereka harus mencari masukan dari ISP, penyedia layanan online seperti Google dan aktivis hak cipta digital pihak ketiga seperti Electronic Frontier Foundation (EFF).
Itu akan memastikan bahwa selain para pembuat konten dan pemerintah, pendapat dari aktor lain di internet juga ikut didengar. Mereka harus mengakui kenyataan bahwa Internet bukanlah sekedar pembajakan, dan kebijakan atas penggunaannya tidak boleh didasarkan hanya atas pendapat segelintir orang. Menyadari hal ini, pioner seperti Richard Falkvinge, yang menemukan Pirate Party di Swedia, harus berubah haluan ke politik agar bisa mempengaruhi keputusan terkait hak digital. Pemerintah dan lembaga legislatif seharusnya juga membuka pintu bagi pihak luar, melibatkan pihak-pihak yang mempengaruhi masa depan internet. Ketika kaset muncul industri hiburan berasumsi bahwa meningkatnya rekaman rumahan akan berarti berakhirnya bisnis yang sangat menguntungkan. Respon sama juga muncul ketika muncul kaset VCR. Tak heran jika Internet ditanggapi dengan hiruk pikuk yang sama. Meskipun demikian, dibanding dua teknologi lain, Internet sepertinya masih tetap mampu menunjukkan kekuatannya sehingga terus bertahan. Seperti yang dilakukan industri hiburan terhadap kaset dan VCR, mereka harus memasukkan Internet dan aspek digital dari produksi konten, kreasi dan distribusi ke dalam model mereka, bukan sekedar memperlakukan orang seperti pembajak.
SEPERTI BISA DIDUGA, SOPA SANGAT DITENTANG. SEJUMLAH PERUSAHAAN MENDUKUNG DAN MENOLAK UNDANGUNDANG TERSEBUT. INILAH BEBERAPA YANG TERLIBAT.
- Fungsi Handycam Vs Kamera, Pilih yang Mana ? - December 16, 2024
- Kamera DSLR Canon dengan Wifi | SLR Termurah Fitur Lengkap - December 16, 2024
- Kamera Saku Layar Putar Murah Berkualitas Resolusi 4K Untuk Vlog & Selfie - December 15, 2024