Mendidik Anak itu Penting, Namun Jangan Sampai Jadi Seperti Ini
Cerita Kasus Air Susu Dibalas Tembakan Peluru
Meski bukan peribahasa asli, judul di atas rasanya cocok digunakan untuk menggambarkan kisah tragis ini. Orang tua yang bertanggung jawab, niscaya akan melakukan apa saja demi kebaikan anaknya, antara lain mencintai tentu saja, merawat, dan mengawasi anak. Nah, kata kerja yang disebut belakangan ini acap kali menimbulkan masalah di antara keduanya. Seperti pada kasus berikut, si anak yang bernama Jennifer bahkan sampai tega membunuh orang tuanya, karena merasa tersiksa diawasi. Toh, sejahat apa pun si anak, orang tua tak merasa harus mereduksi kasih sayangnya kepada anak. Jennifer, lahir tahun 1986 dari pasangan Huei Hann Pan dan isterinya Bich Ha.
Adiknya, Felix, lahir tiga tahun kemudian. Huei Hann Pan dan Bich Ha merupakan contoh pasutri imigran Vietnam yang hidupnya cukup sukses di Kanada. Tahun 1979 kedua insan ini mengadu nasib ke Kanada sebagai pengungsi politik. Mereka datang secara terpisah, kemudian bertemu, saling jatuh cinta, dan akhirnya menikah di Toronto. Menyadari sebagai perantau yang tak punya sanak famili di negeri baru ini, mereka berusaha mandiri, bekerja keras membangun ekonomi rumah tangga. Kebetulan meski berbeda divisi, mereka bisa bekerja di perusahaan yang sama Magna International sebuah pabrik onderdil mobil di Aurora. Kelahiran kedua anak yang lucu, membuat pasangan ini semakin giat bekerja. Walhasil, dengan hidup hemat dan teliti pasutri ini berhasil meningkatkan kondisi ekonomi keluarga dan mampu membeli rumah besar di kawasan tenang Markhman, Scarborough.
Tingkat ekonomi mereka tercermin dari dua mobil keluaran terbaru nongkrong di garasinya. Bahkan untuk menghadapi hari tua, mereka sudah punya deposito sekitar Rp. 2,6 miliar. Mengingat pahit getirnya perjuangan hidup yang sudah mereka rasakan dulu, pasutri ini mendidik kedua anaknya dengan keras dan disiplin agar mereka mampu menuai sukses di kemudian hari. Mereka berharap jangan sampai anakanak ini sengsara. Apa yang dilakukan pasangan Huei Hann sepintas memang lazim seperti yang dijalankan orang tua pada umumnya. Meski bila diperhatikan lebih dekat ada kesan mereka terlalu “memaksa” anak-anaknya melakukan apa yang mereka inginkan. Pengawasan melekat Bayangkan, pada usia 4 tahun ketika balita seusianya masih riuh bermain, Jennifer sudah diikutkan sekolah piano dan beruntung si anak memang berbakat. Saat duduk di bangku sekolah dasar, Jennifer mengumpulkan banyak sertifikat penghargaan dan piala beberapa kejuaraan di sekolah. Selain les piano, Jennifer juga kursus ski individual, sampai pernah cedera karena ada tulang sendi di kakinya yang patah. Pendek kata sedari kecil kegiatan bocah ini sudah amat padat. Setiap hari pulang dari bermacam kegiatan pukul 10. 00 malam. Kemudian masih harus mengerjakan PR, sebelum akhirnya tidur kecapekan. Sesungguhnya, lingkaran pergaulan Jennifer cukup luas. Dengan postur tubuh setinggi 170 cm, ia lebih tinggi di antara gadis-gadis Asia di sekolahannya. Dengan kacamata tipis, Jennifer tampak manis meski ia tidak senang memakai make-up. Bahkan rambutnya pun dibiarkan tergerai seadanya. Kegiatan non-pelajaran yang dilakukan, bergabung dalam orkestra sekolah dengan main flute. Sementara olahraganya adalah bela diri wushu.
Menurut pengamatan seorang teman, adik kelasnya yang tidak mau disebut namanya, penampilan Jennifer yang optimistis dan tegar sebenarnya hanyalah kamuflase permukaan saja. Sesungguhnya di balik semua itu, Jennifer adalah pribadi yang tersiksa, tak percaya diri, dan kering dari belaian kasih dari orang-orang terdekatnya terutama orang tua. Di lain pihak di depan orang tuanya Jennifer berusaha agar selalu tampak seperti sosok anak yang mereka harapkan. Ketika gagal sebagai juara pertama lomba ski, Jennifer mencoba menutup-nutupi kekecewaannya tersebut dari orang tuanya.
Ia takut orang tuanya terutama sang ayah akan sedih. Menjelang akhir kelulusan SMP, Hann dan Bich berharap anaknya akan ditunjuk untuk berpidato perpisahan mewakili teman-teman, atau paling tidak memperoleh piala juara kelas. Namun ternyata Jennifer tidak mendapatkan apaapa. Tentu saja dalam hati gadis ini amat kecewa. Ia merasa kerja kerasnya selama ini tidak mendapat penghargaan. Namun di depan teman-temannya Jennifer mengaku tidak apa-apa. Ia merasa perlu memakai “topeng bahagia”. Padahal, ketika di SD dia termasuk anak yang pandai, tetapi selama di bangku SMP, nilai untuk sebagian besar mata belajarannya hanya 70, kecuali mata pelajaran musik yang memang dia kuasai benar. Dari sinilah sandiwarna dimulai. Berbekal formulir lama yang direkayasa dengan fotokopi sehingga jadi baru, Jennifer memalsukan ijazah SMP yang berisi nilai–nilai A semuanya. Pengaruh sang pacar Huei Hann Pan adalah tipe ayah yang kolot dan ketat dalam mengawasi anak gadisnya, jauh berbeda dengan Bich sang ibu yang lembut meski juga protektif. Biasanya Hann akan menjemput Jennifer pulang dari sekolah, lalu mengawasi kegiatan ekstra kulikuler sang anak. Ia melarang anaknya ikut dalam kegiatan dansa, karena menurutnya kegiatan tersebut tidak produktif. Kalau ada undangan pesta dari temantemannya pun diseleksi dulu.
Mana yang boleh didatangi mana yang sebaiknya tidak perlu. Pacaran tak boleh. Nanti saja setelah masuk universitas. Bila ada kegiatan yang mengharuskan Jennifer menginap di rumah teman, Hann dan Bich akan mengantar dan menjemputnya sendiri. Sungguh. Sampai usia SMA Jennifer adalah gadis “kuper” yang belum pernah nonton, minum di kafe, apalagi mabuk. Bila Hann dan Bich menganggap perlindungan dan penjagaan atas putrinya adalah manifestasi perhatian dan kecintaan orangtua, bagi Jennifer dan teman-temannya adalah tirani. “Mereka mengurung Jennifer kayak hewan peliharaan saja.” Begitu celoteh temantemannya. Saat duduk di bangku kelas 2 SMA Jennifer mengenal Daniel Wong. Pemuda periang berusia setahun di atasnya ini adalah pemain trompet pada grup marching band sekolahnya.
Awalnya hubungan mereka hanya pertemanan biasa, hingga akhirnya makin dekat ketika band mereka melakukan lawatan ke Eropa 2003. “Daniel telah menyelamatkan aku, pada saat aku terserang asma,” kata Jennifer. Ketika itu, usai mengadakan pertunjukkan dalam lawatan tersebut, Jennifer sempat pingsan, yang kemudian ditolong oleh Daniel. Palsukan ijazah Karena “ ijazah SMP” Jennifer nilainya bagus-bagus, kedua orang tuanya menganggap nilai ijazah SMA pastilah juga bagus. Semua A. Padahal kenyataannya rata-rata nilai hanya B. Nah, untuk tidak mengecewakan orang tua, lagilagi Jennifer “memalsukan”ijazah SMA-nya. Kepada orangtuanya ia mengaku sudah diterima di Universitas di Ryerson dan akan mulai perkuliahan di musim gugur yang akan datang. Rencananya dua tahun ia akan mengambil Science untuk kemudian melanjutkan ke Universitas Toronto program studi farmasi seperti yang diharapkan sang ayah.
Kabar baik ini tentu saja diterima Hann dengan suka cita. Ia bahkan memberi hadiah laptop kepada Jennifer. September, Jennifer purapura mengikuti pekan orientasi mahasiswa atau mapram. Ketika tiba saatnya harus membayar kuliah, Jennifer lagi-lagi bersandiwara. Membuat surat keterangan bahwa ia mendapat fasilitas dari Ontario Student Assistance Program (OSAP), dan memperoleh beasiswa dari National Student Loan Service Centre sebesar AS$3.000. Kegiatan Jennifer seperti layaknya mahasiswi kuliah. Setiap hari ia membawa tas dan pergi ke kota menggunakan angkutan umum. Selebihnya orangtuanya tidak tahu apa yang dilakukan anaknya. Biasanya tempat pertama yang dituju adalah perpustakaan umum, lalu nongkrong di kafe.
Kalau tidak, mengunjungi Daniel di Universitas York tempat sang kekasih kuliah. Setelah itu cari duit, jadi pelayan paruh waktu di resto Boston Pizza, tempat Daniel juga bekerja. Sore harinya ia memberi kursus piano. Agar kehidupan penyamarannya tetap terjaga, Jennifer selalu berbohong kepada teman-temannya. Ia bahkan mendramatisasi cara ayahnya mengintervensi kegiatannya dengan mengatakan bahwa ayahnya menyewa seorang detektif swasta yang selalu membuntutinya ke mana dia pergi. Dua tahun berlalu, seperti janjinya kepada sang ayah, Jennifer kemudian mendaftar ke Universitas Toronto untuk program studi farmasi. Namun, karena lokasi universitas tersebut cukup jauh di kota, Jennifer usul agar ia diperbolehkan tiga hari dalam seminggu tinggal di rumah temannya Topaz, supaya tidak capek pulang pergi tiap hari pakai angkutan umum. Mendengar usulan tersebut sang ibu Bich menyakinkan suaminya untuk mengizinkan permintaan si anak. Padahal kenyataannya, Jennifer tidak pernah tinggal bersama Topaz.
Dari Senin hingga Rabu ia tinggal di rumah Daniel di kawasan Ayax. Kepada orangtua Daniel pun Jennifer berbohong bahwa ia telah diizinkan oleh orangtuanya. Dia bahkan selalu mengulang-ulang keinginan orangtuanya untuk bertamu dan makan dim sum bersama. Dua tahun lewat sudah, tibalah saatnya waktu wisuda dari Universitas Toronto. Seperti yang sudah sudah, mereka bikin sandiwara lagi. Jennifer dan Daniel menyewa seorang ahli grafis yang didapatnya secara on-line, untuk membuat formulir transkrip nilai palsu, dengan sebagian besar nilainya A. Kepada orangtuanya Jennifer mengatakan, karena jumlah wisudawan-wisudawati kali ini banyak sedangkan tempat duduknya tidak mencukupi, undangan dibatasi.
Kampus membatasi tiap wisudawan hanya diberi jatah satu pendamping. Nah, dengan dalih tidak tega kalau hanya salah satu orang tuanya yang diperbolehkan masuk sedangkan satunya menunggu di luar, Jennifer memberikan tiketnya kepada teman. Kenapa Jennifer bisa bertingkah seperti ini? Sepertinya gadis ini terus mengembangkan strategi mental dari satu kebohongan demi kebohongan berikutnya.
Begitu seterusnya. “Saya mencoba melihat diri saya pada diri orang ketiga. Dan saya bukan seperti orang yang saya lihat,” katanya kemudian. “Rasionalisasi di benak saya mengatakan saya harus tetap mempertahankan ini. Pasalnya, kalau tidak saya akan kehilangan semuanya.” Kedoknya terbongkar Seperti kata pepatah: “Sepintarpintarnya menutupi bangkai, baunya tetap tercium juga.” Inilah yang dialami Jennifer. Meski ditutup rapat kebohongan dan sandiwara ini akhirnya terbongkar. Selama ini untuk mendapatkan waktu longgar yang digunakan foya-foya, kepada orangtuanya Jennifer mengaku sambil kuliah ia kerja sosial di laboratorium pemeriksaan darah di SickKids. Jam kerjanya terkadang sampai larut malam dari Jumat sampai akhir minggu. Itulah sebabnya ia sering menginap di rumah Topaz.
Dari sini Hann mulai curiga. Bekerja di laboratorium tapi kok Jennifer tidak punya jas lab dan tanda pengenal lain? Esok harinya Hann memaksa untuk mengantar anaknya ke rumah sakit tempat SickKids berada. Bich sampai merasa perlu membuntuti sang putri masuk ke dalam rumah sakit, namun akhirnya kehilangan jejak. Karena penasaran, malam harinya mereka menelepon Topaz, yang dengan suara gemetar menjawab bahwa Jennifer tidak menginap di rumahnya. Akhirnya semua sandiwara ini terbongkar. Kebohongan Jennifer terkuak. Di depan orangtuanya, pagi itu Jennifer mengaku salah.
Semua yang dia lakukan selama ini bohong. Ia tak pernah kerja sosial di SickKids, tidak pernah kuliah di Universitas Toronto, bahkan tidak lulus SMA. Ia mengaku bahwa selama ini lebih sering menginap di rumah Daniel. Rasanya seperti disambar geledek Hann dan Bich mendengar pengakuan sang putri. Terdorong emosi yang menggelegak Hann mengusir putrinya keluar dari rumah dan tak boleh kembali lagi. Beberapa saat kemudian setelah dibujuk-bujuk Bich, kemarahan Hann mereda, Jennifer boleh tetap tinggal di rumah. Namun ia harus dihukum. Laptopnya disita, selama dua minggu tak boleh pegang ponsel. Ia tak boleh berhubungan dengan Daniel.
Semua kegiatan dan pekerjaan di luar rumah dihentikan, kecuali mengajar piano. Februari 2009, di laman Facebook-nya Jennifer menumpahkan kekesalan hatinya, setelah dikurung di rumah selama dua minggu. “Diam di rumah sendiri tapi rasanya seperti hidup dalam penjara.” Ia juga mem-posting tulisan, “Tak ada seorang pun yang mau mengerti saya. Dua orang itu pun tidak mengerti … Saya sepertinya sebuah misteri.” Setelah dua minggu diperbolehkan ke luar rumah, ia mengikuti les beberapa mata pelajaran untuk menyelesaikan SMA-nya. Tapi kenakalannya pun kambuh. Di sela sela waktu mengajar piano ia masih berhubungan telepon atau mengunjungi Daniel. Musim semi tahun 2010 secara kebetulan Jennifer bertemu dengan teman lama semasa SD yakni Andrew Montemayor. Dalam obrolannya Andrew bercerita ia pernah merampok orang dengan todongan pisau. Kebetulan hubungan Andrew dengan ayahnya juga bermasalah. Mereka acap kali bertengkar, bahkan Andrew mengaku pernah ingin membunuh ayahnya. Terus terang pengakuan Andrew mengusik, kalau tak mau disebut meracuni pikiran Jennifer.
Ide “membunuh orangtua” berkali kali telintas di benaknya. Jennifer membayangkan, bisa jadi hidupnya akan lebih enak dan nyaman tanpa kehadiran orangtua di sekitarnya. Gayung pun bersambut ketika suatu hari ide gila ini disampaikan pada Daniel. Bahkan kedua insan ini sempat merancang skenario kejahatan; menyewa profesional untuk membunuh Hann dan Bich, merampok uang jatah warisan yang diperkirakan Jennifer sekitar AS$500.000. Setelah itu mereka kabur, dan hidup bersama di suatu tempat dengan tenang tanpa gangguan dari orangtua yang selalu ingin campur tangan. Daniel memberi Jennifer sebuah ponsel dengan nomor khusus yang hanya mereka berdua yang tahu. Selanjutnya, nomor itulah yang selalu mereka gunakan untuk berkirim SMS atau membicarakan hal hal khusus. Termasuk suatu ketika Daniel meminta Jennifer menghubungi nomor temannya bernama Lenford Crawford yang bisa membantu “mengatasi” masalah Jennifer dengan imbalan yang tidak terlalu mahal. Datangnya tamu tak diundang Sore itu Jennifer lagi asyik nonton acara TV Gossip Girls and Jon di kamar tidurnya. Sedangkan sang ayah Hann sedang mendengarkan siaran berita tentang Vietnam di lantai bawah sebelum akhirnya sekitar pukul 20.30 pergi ke kamarnya tidur. Bich masih berada di luar rumah, menghadiri pesta di rumah temannya.
Felix yang kuliah di Universitas McMaster tidak berada di rumah. Lebih kurang pukul 21.30 Bich pulang, berganti piyama lalu terlihat nonton TV di ruang tengah. Pukul 21.35 David Mylvaganam, teman dari Crawford, menelepon Jennifer kurang lebih 2 menit. Setelah itu Jennifer turun ke lantai bawah, mengucapkan selamat malam pada ibunya. Setelah itu ia menuju ke pintu utama purapura untuk menguncinya, meski sesungguhnya yang dilakukan adalah membuka kunci pintu. Pukul 22.02 terlihat lampu di ruang belajar lantai dua menyala. Dicurigai ini merupakan kode untuk para “tamu” yang berada di luar rumah. Semenit kemudian lampu tersebut dimatikan. Pada pukul 22.05 Mylvaganam menelepon kembali. Sekitar tiga setengah menit Jennifer terlibat percakapan dengan sang penelepon.
Tak lama setelah itu, terdengar langkah-langkah kaki dari luar membuka pintu dan memasuki rumah. Mereka adalah Crawford, Mylvaganam, dan pria bernama Eric Carty. Tampak ketiga orang tersebut membawa senjata masingmasing. Seorang menodongkan pistolnya ke Bich, yang satu mencari Hann di kamarnya lalu membawanya ke ruang tamu dengan todongan senjata. Yang seorang, yakni Carty naik ke lantai atas, memergoki Jennifer keluar dari kamarnya. Menurut pengakuan Jennifer, Carty lalu mengikat kedua tangannya di belakang menggunakan tali sepatu. Lalu si penjahat mendorongnya masuk kamar kembali. Di situ Jennifer menyerahkan duit AS$2.500, tunai. Setelah itu Jennifer dibawa turun ke kamar orangtua dan mengambil sekitar AS$1.100, kemudian menuju ke dapur untuk mencari dompet ibunya. “Bagaimana mereka ini bisa masuk ke rumah Pa?” tanya Bich kepada Hann dalam bahasa Canton. “Aku tidak tahu. Aku tadi sudah tidur,” jawab Hann. “Diam! Kalian jangan banyak bicara!” salah seorang perampok menghardik Hann. “Mana uang kalian! Ayo serahkan!” Hann mengambil dompet dari celananya lalu mengeluarkan uang AS$60. “Kok Cuma segini? Bohong kamu!” bentak seorang perampok sambil menekan pistolnya ke leher Hann.
Terdengar Bich terisak menangis, sambil memohon agar anak gadisnya tidak diapa-apakan. “Baik. Ia tidak akan kami sakiti.” Setelah itu Carty membawa Jennifer kembali ke lantai atas, lalu mengikat tangan gadis itu pada pegangan tangga. Sementara Mylvaganam dan Crawford membawa Bich dan Hann ke basement. Kepala Hann dan Bich dikerudungi selimut. Mereka menembak Hann dua kali. Satu di wajah dan satu pada pundak. Lelaki Vietnam itu langsung tersungkur jatuh ke lantai. Nasib yang menimpa Bich lebih tragis. Ibu dua anak ini meregang nyawa seketika setelah menerima timah panas tiga kali di kepalanya. Tanpa basabasi lagi para penjahat tersebut langsung kabur lewat pintu depan.
Akan halnya Jennifer, saat itu ia berhasil menarik ponsel yang diselipkan di balik ikat pinggang celananya, lalu menghubungi 911. “Tolong… tolonglah saya.” Teriaknya, “Saya tidak tahu di mana kedua orangtua saya… Tolong,, cepat bantu saya..” Rupanya Tuhan masih melindungi Hann. Dua timah panas yang menghantamnya ternyata tidak sampai merenggut nyawanya. Pada saat itu Hann telah siuman dari pingsan akibat tembakan. Samar-samar ia mendengar jeritan putrinya minta tolong. Dengan bersimbah darah Hann berhasil merangkak ke luar rumah minta bantuan tetangga, sampai bantuan dari kepolisian datang.
Pengakuan aneh Kepada polisi yang memeriksanya Jennifer menjelaskan apa yang dialami. Para penjahat memasuki rumahnya untuk merampok uang, mengikatnya pada pegangan tangga, lalu membawa kedua orang tuanya ke basement dan menembaknya. Dua hari kemudian Jennifer kembali dipanggil polisi untuk pemeriksaan lebih lanjut. Sesuai kesaksian yang diberikan, polisi menanyakan bagaimana cara Jennier menelepon 911 untuk minta pertolongan, dalam keadaan tangannya diikat ke belakang.
Saat itu ponsel lipat Jennifer diselipkan di balik ikat pinggang celana panjangnya. Polisi menyingkap banyak kejanggalan pada peristiwa perampokan yang menimpa keluarga Huei Hann. Kalau motif para penjahat itu mau merampok, kenapa bisa masuk rumah dengan mudah tanpa merusak pintu? Di ruang tengah itu juga tercantel kunci mobil, mengapa mereka tidak membawa mobil keluarga ini? Dan yang lebih aneh lagi; kenapa para perampok hanya menembak dua orang saja, sementara anak korban dibiarkan hidup bahkan tak terluka sedikit pun? Kecurigaan polisi secara tidak langsung mengarah pada keterlibatan orang dalam.
Siapa lagi kalau bukan Jennifer. Sinyalemen ini diperkuat dengan pengakuan ayahnya, Hann pada tanggal 12 November 2010. Setelah siuman dari tiga hari koma, bapak dua anak yang mengalami patah tulang di sekitar mata, dan wajah rusak akibat pecahan peluru, ini mengaku masih ingat dua keanehan yang dilihatnya saat perampokan berlangsung. Pertama, ia sempat melihat Jennifer berbicara dengan para perampok tersebut dengan nada pelan “seperti teman” yang sudah kenal lama.
Yang kedua, tangan Jennifer tidak diikat di belakang badannya ketika disuruh mengantar keliling rumah. Detektif William Goetz , yang menangani perkara ini, merasa yakin Jennifer telah memberikan keterangan palsu. Setiap kali ditanya penyidik, jawaban Jennifer tidak jelas dan berputar-putar. Bahkan ia kemudian memberi penjelasan yang tidak masuk akal. Menurut penuturan Jennifer, peristiwa itu semula adalah pelaksanaan rencananya untuk bunuh diri tapi orang-orang yang disewanya salah eksekusi.
Ia mengaku bahwa sudah sejak lama hubungannya dengan orangtuanya berlangsung buruk. Ia merasa tersiksa dengan tindakan orangtua yang terlalu ketat mengawasi dan selalu mencampuri urusannya. Dalam keputusasaannya, ia ingin bunuh diri saja. Namun, lantaran takut dan tak punya nyali untuk bertindak sendiri, akhirnya ia menyewa orang untuk melakukan hal itu. Dalam perkembangannya, masih menurut penuturan Jennifer, mulai September lalu ternyata hubungan dirinya dengan sang ayah dan ibunya berubah menjadi baik. Oleh karena itu ia bermaksud membatalkan rencana keji tersebut.
Tapi mengapa peristiwa itu terjadi? Jennifer menduga ada miskomunikasi antara dirinya dengan pihak yang disewanya, sehingga terjadilah peristiwa memilukan yang merenggut nyawa ibunya. Berdasar pengakuan tersebut, polisi lantas menahan Jennifer. Dari pemeriksaan percakapan telepon dari ponsel Jennifer, polisi mengembangkan penyelidikan dan akhirnya menangkap tersangka lain seperti, Daniel, Mylvaganam, Carty dan Crawford. Mereka didakwa dengan tuduhan melakukan pembunuhan tingkat pertama, dan konspirasi untuk melakukan percobaan pembunuhan. Diganjar penjara seumur hidup Proses pengadilan kasus ini dimulai tanggal 19 Maret 2014 di Newmarket, kawasan York yang terletak di provinsi Ontario.
Semula persidangan dijadwalkan akan selesai dalam 6 bulan, namun ternyata molor sampai 10 bulan. Dalam persidangan itu, lebih dari 50 saksi dihadirkan, dan selalu penuh dihadiri pengunjung. Selama tujuh hari duduk di kursi pesakitan Jennifer dengan berbagai alasan menjelaskan bahwa sejumlah bukti yang disodorkan yakni berbagai pesan tertulis (SMS) dengan Daniel dan Crawford, maupun rekaman pembicaraan telepon dirinya dengan Mylvaganam, tidak ada hubungannya dengan peristiwa pembunuhan ini. Meski ia mengaku semula pada Agustus 2010 ia memang menyewa para terdakwa yang lain itu untuk membunuh orangtuanya, namun tiga bulan kemudian ia sudah membatalkan niatnya tesebut. Sebelum Dewan Juri menjatuhkan keputusan, Jennifer terlihat masih tegar dan terkesan santai, bahkan tampak mempermainkan jubah penasihat hukumnya. Ketika Dewan Juri menjatuhkan keputusan bersalah, ia diam saja tanpa emosi. Baru setelah wartawan dan para pengunjung bergerak keluar ruang sidang, Jennifer menangis tersedu-sedu dengan tubuh terguncang tak terkontrol. Untuk tuduhan pembunuhan tingkat satu Jennifer diganjar hukuman seumur hidup tanpa hak pembebasan bersyarat sebelum menjalani hukuman 25 tahun. Untuk tuduhan percobaan pembunuhan terhadap ayahnya ia dihukum seumur hidup yang harus dijalani secara bersamaan.
Hukuman yang sama juga dijatuhkan kepada Daniel, Mylvaganam, dan Crawford. Sementara itu penasihat hukum Carty jatuh sakit selama berlangsungnnya persidangan, oleh karena itu putusan pengadilan utuk terdakwa Carty ditunda sampai penasihat hukumnya sembuh. Hann dalam pernyataan tertulisnya mengomentari persidangan tersebut, “Saat ini saya kehilangan istri, pada saat yang sama saya juga kehilangan putri saya,” tulisnya ,” Saya tidak merasa seperti saya memiliki keluarga lagi….Kata orang mestinya saya merasa beruntung karena selamat bisa hidup, tetapi saya merasa saya mati juga.” Benar kata Hann. Karena lukaluka dan cacat yang dideritanya kini Hann tidak bisa lagi bekerja seperti sedia kala. Dia menderita gangguan kecemasan parah, insomnia, kalaupun bisa tidur ia akan didera mimpi buruk. Banyak kegiatan yang kini ditinggalkannya seperti berkebun, mengotak-atik mobil, atau mendengarkan musik.
Hann merasa kegiatan tersebut kini tak lagi mampu mendatangkan kegembiraan baginya. Karena tidak lagi merasa nyaman tinggal di rumahnya, ia memilih menumpang di rumah saudaranya. Rumah keluarga itu mau dijual, tapi sampai sekarang belum ada peminatnya. Sedangkan Felix memutuskan bekerja dan tinggal di kota lain di kawasan Pantai Timur, untuk melupakan kenangan buruk keluarganya. Pada akhir pernyataan tertulisnya, Hann berpesan kepada putrinya Jennifer, “Saya harap putriku Jennifer, mau merenungkan kembali apa yang telah terjadi pada keluarganya. Semoga suatu hari nanti ia bisa menjadi orang jujur dan baik.”
- Fungsi Handycam Vs Kamera, Pilih yang Mana ? - December 16, 2024
- Kamera DSLR Canon dengan Wifi | SLR Termurah Fitur Lengkap - December 16, 2024
- Kamera Saku Layar Putar Murah Berkualitas Resolusi 4K Untuk Vlog & Selfie - December 15, 2024