Sejarah Kawasan Kampung Pecinan di Semarang
Kedatangan bangsa Tionghoa ke Semarang berabadabad lalu telah mewarnai kehidupan masyarakat setempat. Selalu harmonis dan terus luwes mengalir mengikuti perubahan zaman.Silakan makan,” kata Jong- kie Tio mempersilakan saya untuk menikmati sepiring lontong cap go meh yang terhidang di depan mata. Ketika saya melahap lontong, ia bertanya apa saya mengetahui sejarah lontong cap go meh. Sambil mencecap sajian yang nikmat itu saya menggelengkan kepala. Jongkie Tio yang menyebut dirinya pendongeng membuka usaha restoran yang mengkhususkan pada masakan khas Semarang tempo dulu. Pria 76 tahun ini sangat fasih berbicara sejarah budaya Peranakan dan Kota Semarang. Sosoknya masih tampak bugar. Ia menyebut dirinya Tionghoa Peranakan. Dari orangtua dan isterinya yang pandai masak itulah Jongkie mempe-lajari resep-resep masakan lokal asli masa lalu. Lalu dengan semangat Jongkie bercerita singkat tentang riwayat lontong cap go meh, masakan Peranakan yang hanya ditemui di pesisir utara Pulau Jawa.
Lontong cap go meh adalah salah satu makanan asimilasi antara pendatang dari Tiongkok dan penduduk lokal Jawa. Para pendatang dari Tiongkok yang hidup berbaur dengan masyarakat lokal ketika itu mengenal ketupat opor dari warga lokal. Warga lokal memberi hantaran kepada mereka ketika perayaan Lebaran Ketupat. Dari situlah para pendatang asal Tiongkok memodifi kasi masakan ketupat opor menjadi lontong cap go meh. Mereka menghidangkannya untuk perayaan cap go meh, perayaan malam ke-15 pada bulan pertama tahun baru Imlek. Sajiannya bukan cuma opor dan sambal goreng hati, tapi ditambah dengan masakan lain seperti sambal goreng tahu, tahu, rebung, buncis, udang, srondeng, docang, abing, bubuk kedelai, lodeh, telur, dan kerupuk. Ketupat diganti dengan lontong yang cara pembuatannya hampir mirip bakcang, makanan asal Tiongkok dari beras yang dibungkus daun. Lontong dibentuk sedemikian rupa sehingga ketika dipotong menjadi bulat menyerupai bentuk bulan purnama, saat masyarakat Tionghoa merayakan cap go meh. Lontong cap go meh adalah contoh hasil asimilasi budaya lokal (Jawa) dan Tionghoa pendatang. Perpaduan budaya itu menghasilkan budaya Peranakan atau Babah. Budaya Peranakan terbentuk setelah kedua kebudayaan itu mengalami interaksi yang cukup lama dan terjadi harmonisasi. Dan Semarang merupakan kota di Pulau Jawa yang kental dengan budaya Peranakan
Sejak abad ke-10
Asimilasi kehidupan orang lokal Jawa dan orang Tionghoa asal Tiongkok dapat dilihat di kawasan Pecinan Semarang. Alkisah, ratusan tahun lalu pendatang asal Tiongkok mencari penghidupan baru di Nusantara. Mereka datang dalam rombongan besar dengan perahu layar dan mendarat di Banten. Dari situ mereka menyebar ke penjuru pesisir utara Pulau Jawa. Di antaranya ada yang menetap di Simongan yang sekarang menjadi Kota Semarang. Peristiwa itu diperkirakan terjadi pada abad ke-10. Ketika Laksamana Cheng Ho datang ke Simongan pada abad ke-15 pemukiman masyarakat Tionghoa sudah ada di sana. Sam Po Kong atau Kuil Gedong Batu adalah tempat ibadah yang dibangun masyarakat Tionghoa di Simongan untuk menghormati kunjungan Laksamana Cheng Ho.
Lokasi tersebut dianggap bersejarah karena dipercaya sebagai tempat mendaratnya Sang Laksamana. Di situ terdapat juga makam pimpinan pelayaran dari armada Cheng Ho. Diceritakan bahwa sang pimpinan, Ong Kong Hong, jatuh sakit ketika di Semarang, karena itu ia dan 10 orang pembantunya harus tinggal. Mereka lalu bermukim di Simongan dan berasimilasi dengan orang lokal. Petilasan di Gedong Batu selanjutnya dikunjungi berbagai kalangan, Tionghoa dan Jawa. Orang Jawa mendatangi petilasan itu setiap malam Jumat Kliwon untuk berdoa. Kini, Sam Po Kong menjadi kompleks yang megah dengan beberapa bangunan, sedangkan Gedong Batu yang asli sudah hancur. Selanjutnya, rombongan besar pertama orang Tionghoa dari Tiongkok datang ke Semarang dengan armada kapal layar yang dinamakan Wakang Tjoen. Mereka datang sewaktu Tiongkok daratan dikuasai oleh Manchuria.
Dalam rangka mencari penghidupan baru, mereka menetap di Semarang. Kemudian mereka membangun rumah-rumah dengan arsitektur Tiongkok mulai abad ke-17. Proses asimilasi pun berlangsung ketika para pemuda Tionghoa itu menikahi gadis lokal. Dari pakaian kesenian, arsitektur, hingga makanan terjadilah asimilasi. Perlengkapan rumah tangga untuk keperluan dapur seperti anglo, cawan, langseng, mangkok, teko adalah contoh dari hasil asimilasi kedua budaya. Sementara untuk makanan, asimilasi budaya Tionghoa dan lokal sangat terasa dengan banyaknya makanan Tionghoa yang diadopsi oleh orang lokal. Sewaktu menceritakan tentang kawasan Pecinan Semarang, raut wajah Jongkie Tio berubah menjadi muram. “Hanya 20% bangunan dengan arsitektur asli yang masih tertinggal di kawasan itu,” katanya dengan sedih, selebihnya sudah berubah menjadi bangunan modern. Karena penasaran, ditemani warga lokal yang mengerti tentang Pecinan saya pun menyusuri sebagian kawasan tersebut. Benar juga yang dikatakan Jongkie Tio, sebagian besar facade bangunan telah mengalami perubahan, kecuali bila masuk ke jalan-jalan kecil seperti Gang Baru, Gang Belakang, masih tersisa sedikit.
Gus Dur dihormati
Di Pecinan, Komunitas Tionghoa di Semarang mendirikan perkumpulan sosial. Satu di antaranya yang masih berdiri hingga sekarang adalah Perkumpulan Sosial Boen Hian Tong. Perkumpulan yang menempati Gedung Rasa Dharma di Gang Pinggir ini didirikan pada 1876. Perkumpulan komunitas tersebut, misalnya, masih melaksanakan doa arwah leluhur setiap tahun dengan warna lokal. Mereka mengundang perwakilan dari agama lain dan juga memberikan santunan kepada orang-orang miskin. Bahkan mereka memberikan gelar kehormatan kepada Presiden Indonesia ke-4 Abdurrahman Wahid sebagai Bapak Tionghoa Indonesia. Papan penghormatan (sinci) untuk Gus Dur diletakkan di altar utama Gedung Rasa Dharma dan dapat disaksikan hingga sekarang. Di Pecinan ada jalan bernama Gang Warung. Ini adalah kawasan bisnis dan perdagangan, yang di kanan-kiri jalan berjajar barisan toko-toko. Masih ada beberapa toko yang menyisakan bentuk warung zaman dulu dengan papan yang menopang barang-barang dagangan menjadi jendela penutup warung. Jika dikatakan sisa arstektur asli tinggal 20%, memang dikatakan demikian kenyataannya. Lebih dari itu, toko-toko tersebut menempati bangunan ruko yang bentuknya tidak berbeda dengan ruko di kotakota lain di Indonesia. Pada malam hari Gang Warung berubah rupa menjadi pasar malam dengan beragam warung yang menjual aneka makanan dan jajanan. Kawasan ini dikenal dengan nama Pasar Malam Semawis. Makanan yang dijual mulai dari nasi gudeg hingga mi ayam, minuman juga beraneka dari jamu hingga es puter khas Semarang. Di Pasar Semawis ini pula bisa dijumpai aneka makanan non-halal. Pendeknya, Pasar Malam Semawis adalah pusat kuliner khas Semarang yang sayang jika dilewatkan.
Aslinya non-halal
Pasar tradisional Gang Baru merupakan salah satu pasar tradisional yang cukup lama di Pecinan. Para pedagang berjualan di sepanjang Gang Baru di lapak-lapak mereka. Di sinilah tempat yang tepat untuk mencari sayur-mayur, buah, daging dan ikan segar untuk keperluan memasak. Ada juga penjual kue dan alat-alat dapur. Menariknya, Pasar Gang Baru hanya buka setengah hari. Selewat pukul 12.00 hampir seluruh pedagang bubar. Di pasar ini pula dapat dijumpai kios yang menjual daging non-halal. Yang menarik, para penjualnya adalah orang lokal. Kenyataan bahwa warga Tionghoa sudah menetap lama di Semarang dan budayanya berasimilasi dengan orang lokal tidak dapat dipungkiri lagi. Di Gang Pegambiran, misalnya, saya masih menjumpai pengrajin yang memahat batu untuk pemakaman Tionghoa.
Pekerjaan itu sudah lama dilakukan oleh orang lokal. Masih di sekitar situ, ada toko yang menjual sekaligus mengerjakan perlengkapan untuk upacara kematianTionghoa. Pengrajinnya pun orang lokal. Menyusuri kawasan Pecinan Semarang saya seakan berada di dunia lain. Di beberapa sudut jalan tampak bangunan kelenteng/kuil yang dicat warna merah terangbenderang dengan arsitektur atapnya yang khas. Keberadaan kelenteng di Pecinan hampir di setiap beberapa ratus meter jalan. Kelenteng Tay Kak Sie adalah kelenteng pertama yang ada di Kawasan Pecinan. Didirikan pada 1746, kelenteng ini menjadi kelenteng terbesar dari segi dewa-dewa yang ada di dalam kelenteng. Letaknya di Gang Lombok, di tepi Kali Semarang. Tidak jauh dari Gang Lombok, terdapat kedai kecil di pinggir jalan yang khusus menjual lumpia. Inilah kedai lumpia tertua di Semarang yang saat ini sudah dikelola generasi keempat. Meski tempatnya kecil, kedai lumpia ini selalu dirubungi pembeli. “Lumpia adalah salah satu makanan asimilasi Semarang,” ujar Jongkie yang menulis buku Kota Semarang dalam Kenangan. Aslinya lumpia berisi daging babi, tapi karena menyesuaikan dengan keadaan di Semarang yang warganya banyak beragama Islam, isi lumpia kemudian diganti dengan irisan rebung dan udang. Ia memperkirakan 75% masakan Indonesia mendapat pengaruh dari masakan Tionghoa. Contohnya, minuman hangat wedang ronde, minuman jahe yang dicampur bulatan menyerupai moci. Banyak orang mengganggap bahwa minuman itu berasal dari Jawa. “Ini (wedang ronde) seratus persen berasal dari Tiongkok. Minuman ini biasa dipersembahkan untuk para dewa di kelenteng-kelenteng,” katanya sambil tersenyum. Asimilasi budaya Tionghoa dan lokal di Semarang memang terbilang unik, harmonis karena jarang ada gejolak, mulus karena mengalir begitu saja, seperti halnya lontong cap go meh, wedang ronde, dan lumpia yang masuk ke mulut saya
- Fungsi Handycam Vs Kamera, Pilih yang Mana ? - December 16, 2024
- Kamera DSLR Canon dengan Wifi | SLR Termurah Fitur Lengkap - December 16, 2024
- Kamera Saku Layar Putar Murah Berkualitas Resolusi 4K Untuk Vlog & Selfie - December 15, 2024