Tips Bercocok Tanam di Lahan Sempit
Ada kesan tersendiri saat menantikan benih bertunas, tunas mengeluarkan daun satu persatu, hingga daun bertumbuh besar siap dipanen. Begitulah pengakuan mereka yang hobi bercocok tanam dengan sistem hidroponik. Bagaimana para pekebun ini memulai hobinya? Aduh sayang banget, sekarang ini tanamannya masih kecil-kecil, soalnya saya baru saja panen,” ujar Maria Henny (43) kepada Intisari yang menyambangi apartemennya di kawasan Kelapa Gading, Jakarta Utara. Ketika masih di dalam lift menuju unit tempat tinggalnya di lantai 11 saja, ia sudah begitu antusias bercerita soal panen kangkung yang baru dilakukannya. Kebun sayur hidroponik milik Maria ukurannya tidak terlalu terlalu besar, kira-kira 1,5 x 3 m saja. Beberapa pot kangkung tergantung di pagar pembatas balkon.
Di sampingnya terdapat berbagai macam tanaman dari yang masih berbentuk tunas hingga hampir siap panen. Sekilas tanaman yang tampak kali itu adalah bayam merah, seledri, sawi, selada, daun mint, cincau, lembayung, dan kale. Sementara di pintu, menjulur agak tinggi tanaman tomat yang belum berbuah. Rasanya begitu hijau dan teduh. Malah rasanya seperti tinggal di rumah tapak biasa. Sulit mencari arah cahaya matahari Maria mulai menekuni hobi ini tiga tahun silam. Alasannya saat itu sederhana, yakni ingin bercocok tanam dan makan sayur tanpa pestisida. Dari hasil browsing sanasini di internet, ketertarikannya jatuh kepada sistem hidroponik. Sejak itu ia mulai giat membaca dan mempelajari sistem tanam dengan media air ini sembari mengikuti beberapa kali pelatihan. “Pertama kali menanam, semangat banget. Tapi aduh, banyak yang gagal,” kenang Maria tentang awal kiprahnya. Maklum, ia memang belum pernah mengenal sistem ini sama sekali. Kegagalan itu pula yang sempat membuatnya vakum selama tiga bulan, tidak menyentuh lagi pernak-pernik hidroponiknya.
Setelah membaca berbagai pengalaman orang lain, Maria sadar, ia bukan satu-satunya orang yang pernah gagal. Kembali ia bersemangat, belajar, dan ikut pelatihan. Berbagai informasi digalinya lewat majalah maupun internet. Hasilnya, berbagai jenis sayuran kini tumbuh subur di kebun di balkon apartemen. Kesulitan bertanam hidroponik di apartemen adalah mencari arah cahaya matahari. Keberadaan gedung-gedung tinggi di sekitar tempat tinggal Maria rupanya mengalangi. Namun ia tak kehabisan akal. Diperhatikannya, kapan sinar matahari singgah di balkon apartemennya. “Pukul 07.00 sampai 11.00 biasanya sampai di teras. Di situ saya pindahkan tanamantanaman itu biar semuanya terkena sinar,” jelas ibu rumah tangga ini. Kalau tidak pandai-pandai mengatur soal cahaya, tanaman biasanya tumbuh timpang. Di satu sisi sehat, sisi lainnya kurus. Karena itu posisi tanaman harus selalu diubah agar mendapat cahaya maksimal.
Bisa pula memakai lampu growing light untuk mendukung pertumbuhan tanaman-tanaman kesayangan di malam hari. Selera dan kreativitas Di kebun balkon apartemennya, Maria menanam sayur dengan berbagai sistem hidroponik seperti Nutrient Film Technique (NFT), Deep Flow Technique (DFT), Wick, dan juga menggunakan media tanam sekam bakar cocopeat. Setiap sistem tentu memiliki mekanisme kerja berbeda. Meski menurut pengamatan Maria, soal proses pertumbuhan dan hasilnya, akan sama saja. Maria menyukai hidropnik karena pola bercocok tanam ini lebih bersih. Selain itu, sayurannya juga lebih renyah. Begitu pula soal kesegaran, juga relatif lebih lama. Jika sayur di pasar hanya bertahan tiga hari di dalam kulkas, sayur hidroponik bisa bertahan hingga seminggu. Karena hobi sekaligus aktivitas hariannya, tak heran antara Maria dengan tanaman-tanamannya seperti ada hubungan spesial.
Anak-anak hijaunya itu begitu disayangi. Seperti ada kepuasan tersendiri ketika melihat benih yang disemai mulai bertunas, tumbuh, dan mengeluarkan empat daunnya. Setidaknya setelah berdaun empat helai, tanaman yang disemai tadi dipindah ke pot. Maria akan memantau terus perkembangan pertumbuhan mereka. Saat merawat tanaman itulah yang menjadi kebahagiaan tersendiri baginya. “Makanya ketika panen, ada rasa sedih,” cerita Maria. Namun rasanya dilematis juga, karena kalau sayurnya tidak dipanen, lama-kelamaan bakal menua dan busuk juga. Keluarga Maria juga sudah mafh um, tanaman-tanaman itu tak boleh diganggu. Suami dan anaknya hafal betul, kebiasaan Maria kalau pulang dari luar rumah pasti yang ditengok adalah tanaman-tanamannya dulu. Bahkan kalau anaknya berjalan-jalan ke dekat balkon, sudah ada peringatan untuk berhatihati. “Takut tersenggol,“ serunya. Yang menggembirakan, hasil panen sayuran itu tidak hanya untuk dikonsumsi keluarga Maria sendiri. Ia bahkan sudah memiliki dua pelanggan yakni tetangganya. Sayuran itu juga bisa dijadikan buah tangan saat berkunjung ke rumah kerabat. “Apalagi ketika mengunjungi orang sakit, mereka akan senang melihat daun-daun segar dan unik,” kata Maria. Pakai air cucian beras Keterbatasan lahan juga menjadikan Muliadi Chandra (34) bertanam sayur hidroponik di balkon jendela lantai dua rumahnya di kawasan Jembatan Lima, Jakarta Barat. Sengaja ia memilih lantai dua, karena rumahnya di gang. “Takutnya anakanak bermain, iseng mencabut daun sayur-sayur saya,” kata pria yang sehari-hari pedagang online ini. Di dunia hidroponik, Muliadi sebenarnya pendatang baru.
Baru empat bulan lalu, artikel hidroponik dibacanya di internet. Iseng-iseng, ia menghadiri pameran dan pelatihan hidroponik. Hasilnya, kini empat jendela rumahnya sudah rimbun tanaman sayur. Ada kangkung, bayam, selada, sawi, pak choy, dan terung. Tanaman hidroponik yang biasanya tumbuh dengan nutrisi khusus, di tangan Muliadi sedikit dimodifi - kasi. “Saya mulai bereksperimen dengan air cucian beras,” katanya. Air cucian beras menurutnya mengandung kalsium yang baik untuk pertumbuhan daun dan batang tanaman. Jadi, semacam makanan suplemen. Ketika memulai hidroponik ini, Muliadi mengaku cuaca Jakarta memang sedikit menghambat. Walau pada dasarnya butuh cahaya matahari, namun tanaman sayur juga tidak tahan jika terlalu terik. Maka kadang perlu dibuat perlindungan tambahan. Biasanya mereka yang berkebun hidroponik dengan lahan yang luas membuat sistem green house. Kalau skala rumah tangga umumnya diakali dengan perlindungan dengan jaring atau plastik UV. Sementara Muliadi memilih cara dengan memindahkan tanaman ke dalam rumah untuk menghindari matahari. Meski banyak tantangan, Muliadi tetap getol. Merawat tanaman hidroponik, baginya mendatangkan kepuasaan tersendiri. Tak heran, di sela pekerjaan, ia bisa menghabiskan waktu lima jam bersama tanaman-tanamannya.
Senang dipuji tetangga Cerita serupa juga dialami Hari Witono (53) yang sudah bergelut dengan dunia hidroponik sejak 2006. Sekian lama menjalani hobi ini, menurutnya musuh dari hidroponik hanyalah hujan dan angin kencang. Karena ia sehari-hari tinggal di apartemen, cahaya matahari juga jadi kendala. Solusinya, adalah dengan cahaya tambahan. Hari sebenarnya juga memiliki kebun kecil di atap rumahnya di kawasan Sawangan Permai, Depok. Pertumbuhan tanaman sayur miliknya di sana baik-baik saja. Kendalanya paling hanya hujan dan angin kencang. Kalau tidak ada perlindungan, tanaman sayurnya pun jadi korban. Tidak ada kata bosan bagi Hari dan istrinya dalam bercocok tanam. “Banyak orang berhenti di tengah jalan karena bosan. Karena itu, menanam hidroponik juga membutuhkan passion dan kesabaran,” kata Hari. Kebetulan, latar belakang pendidikannya di bidang agrikultur juga sangat membantunya. Karena sayuran yang ditanam Hari juga tumbuh besar dan segar, pemandangan rumah dan apartemen juga semakin indah. Selain senang melihat pertumbuhannya, juga ada kepuasan tersendiri tatkala mendapat pujian dari tetangga. Apalagi Hari juga kerap membagikan hasil panennya itu kepada tetangga sekitar. Tentu semakin sering pujiannya.
Menghasilkan Uang dari Hidroponik
Dalam skala rumah tangga saja, terbukti hidroponik banyak memberi manfaat. Apalagi jika dilebarkan sayapnya menjadi skala industri, bisnis hidroponik semakin menjanjikan. Demikian diungkap oleh Richard Shalim dari Jiri Farm, Jakarta. Ia yang sudah memulai bisnis hidroponik dengan keluarganya sejak 2010, telah banyak meraup manfaat melalui bisnis hidroponik. Kini omzetnya sudah mencapai Rp100 juta per bulan. Awalnya Jiri Farm hanya fokus dalam penanaman sayuran hidroponik.
Hasil panennya didistribusikan ke berbagai supermarket dan juga para pelanggan. “Seiring perkembangannya, kami mulai melakukan penjualan bibit, peralatan hidroponik, pembuatan nutrisi, hingga menggelar pelatihan hidroponik,” jelas Richard. Saat ini Jiri Farm menyediakan sayursayuran seperti bayam, kangkung, kale, selada, pakchoy, dan kailan. Richard mengakui, seiring peningkatan kesadaran dari masyarakat akan sumber makanan sehat, sayur-sayur dari Jiri Farm juga laris manis. Jika sudah merasakan manfaat dari sayur-sayuran sehat, ada sebagian pembeli yang ingin mengenal lebih jauh tentang hidroponik. Karena itulah, Richard dan tim juga memberi pelayanan untuk pembuatan peralatan sistem hidroponik. Misalnya untuk media tanam, media semai, hingga sistem pengairan hidroponik.
Tahun 2014, Richard sudah mulai merambah penjualan ke sistem e-commerce. Sehingga berbagai transaksi jual beli untuk semua produk bisa dilakukan secara online. Selain itu, Jiri Farm juga melakukan pelatihan-pelatihan bagi orang-orang yang tertarik dengan hidroponik. Sejauh ini berbagai pelatihan dari Jiri Farm disambut sangat baik. Apalagi peminat hidroponik sudah semakin banyak. Pemerintah daerah juga turut mendukung, seperti ajakan dari Gubernur DKI Jakarta, Basuki Tjahaja Purnama, beberapa waktu lalu tentang hidroponik. Terlebih lagi, semua orang menyadari, bahwa suplai sayuran di Jakarta semakin terbatas. Di sinilah setiap orang akan lebih baik untuk menyediakannya sendiri di rumah.
- Fungsi Handycam Vs Kamera, Pilih yang Mana ? - December 16, 2024
- Kamera DSLR Canon dengan Wifi | SLR Termurah Fitur Lengkap - December 16, 2024
- Kamera Saku Layar Putar Murah Berkualitas Resolusi 4K Untuk Vlog & Selfie - December 15, 2024