Pengalaman Beli Sepeda Motor dengan Uang Receh
Nilainya yang relatif kecil sering kali membuat uang receh dikesampingkan. Padahal, keberadaan uang receh juga diperlukan dalam kehidupan sehari-hari. Bahkan, ia turut memutar roda perekonomian negara. Bagaimana sebaiknya kita mengelola uang receh? Baru-baru ini, media massa sempat memberitakan tentang seseorang bernama Setiadi yang membeli sepeda motor.
Masalahnya, pria asal Depok, Jawa Barat itu membeli sepeda motor seharga Rp33,425 juta menggunakan uang receh, senilai Rp1.000. Uang seribuan kertas dan logam itu adalah tabungannya selama lima tahun. Meski awalnya sempat ditolak oleh tujuh diler, Honda Moto Care yang merupakan diler kedelapan akhirnya menerima. Alasan pihak diler, sesuai standar operasional prosedur, pihaknya tetap melayani konsumen meski membayar menggunakan uang receh. Asalkan syaratnya, uang itu masih berlaku di Indonesia. Apa boleh buat, akhir-akhir ini keberadaan uang receh seringkali dianggap remeh.
Meski masih berlaku sebagai alat pembayaran resmi, tapi uang logam recehan sering diperlakukan semena-mena. Ditolak, diletakkan sembarangan tanpa dipedulikan, bahkan dibuang begitu saja di jalanan. Uang yang masih sah ini seolah sudah tidak ada nilainya lagi. Tidak boleh menolak Nilainya memang kecil, tapi uang logam receh sebenarnya masih berlaku sebagai alat pembayaran sah. Aturannya ada di UU Nomor 7 Tahun 2011 tentang Mata Uang.
Jadi jika memang uang itu bisa dipastikan asli, kita tidak boleh menolaknya. Lebih jelasnya, di dalam wilayah NKRI, uang logam atau receh boleh digunakan untuk transaksi apapun. Begitu pun setiap pihak, baik perorangan maupun korporasi tanpa terkecuali dilarang menolak atau menerima transaksi menggunakan uang receh. “Jika ada yang menolak, maka sanksinya kurungan paling lama satu tahun dan denda paling banyak 200 juta rupiah,” ucap R Sugeng, Asisten Direktur Divisi Pengelolaan Uang Keluar Departemen Pengelolaan Uang Bank Indonesia (BI).
Sering juga terjadi, uang receh sebagai kembalian suatu transaksi, diganti dengan permen. Tindakan itu pun melanggar Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. Sanksinya, maksimal dua tahun penjara dan denda maksimal Rp5 miliar. Aturan ini diberlakukan, menurut Sugeng, karena uang logam masih berlaku dan beredar di Indonesia dalam jumlah banyak. Jadi, tidak ada alasan untuk pedagang menggantinya dengan permen. Cenderung meningkat Meski peredaran uang logam terbilang lambat, bukan berarti keberadaan uang receh boleh dikesampingkan dan dianggap sepele.
Sebab, bagaimana pun uang receh punya peran cukup besar sebagai alat transaksi ekonomi di Tanah Air. Hal inilah yang terus mendorong BI untuk tetap melakukan pencetakan dan pengedaran uang logam. Setiap tahun, BI mengeluarkan uang logam yang terdiri atas beberapa pecahan (denominasi), yakni Rp1.000, Rp500, Rp.200, Rp100, dan Rp50. Bahkan, secara nasional, jumlah setiap pecahan itu cenderung meningkat. Penyebabnya, karena permintaan masyarakat selalu besar (lihat infografi k). Meski semakin besar, jumlah tersebut senantiasa disesuaikan dengan kebutuhan masyarakat.
Karena, seperti kita tahu, jumlah uang kartal yang berlebihan akan mendorong konsumsi masyarakat serta mendorong tindakan spekulasi. Akibatnya, akan timbul infl asi dan penurunan nilai tukar. “Sebaliknya, jika jumlah uang beredar lebih sedikit dari permintaan, maka akibatnya perekonomian melambat,” kata Sugeng. Dalam mengeluarkan uang logam, BI juga selalu mempertimbangkan asumsi makro ekonomi ke depan, di antaranya pertumbuhan ekonomi, tingkat infl asi, suku bunga dan nilai tukar. Selain itu, BI juga melakukan survei kepada stakeholder terkait untuk mengetahui kebutuhan masyarakat, khususnya dari segi per pecahan. Dari penelitian BI dan best practices internasional, mata uang di seluruh dunia selalu terdiri atas dua jenis, yakni uang kertas dan uang logam (koin atau receh).
Uang kertas umumnya digunakan untuk transaksi dalam nilai besar. Sementara, uang logam atau receh digunakan untuk transaksi dalam nilai kecil dan cenderung sebagai alat pengembalian. Aktivitas transaksi perekonomian di Indonesia sendiri yang terus meningkat, juga mendorong peningkatan kebutuhan uang logam sebagai alat pengembalian.Tingginya permintaan itu terutama untuk pengelola jalan tol, pedagang, dan retailer. Ada pula alasan lain tentang keberadaan uang logam, yakni soal keawetan atau tahan lama. Dibandingkan uang kertas, tentu uang logam lebih tahan lama.
Usia edar uang koin bisa bertahan selama lima hingga 10 tahun. Sementara, uang kertas hanya mampu bertahan kurang lebih satu sampai dua tahun. “Uang kertas gampang lusuh, namun uang logam lebih tahan lama dan efi sien,” kata Sugeng. Nah, bagaimana masih mau menolak atau menerima uang logam? Hati-hati Anda bisa kena sanksi lo.
- Fungsi Handycam Vs Kamera, Pilih yang Mana ? - December 16, 2024
- Kamera DSLR Canon dengan Wifi | SLR Termurah Fitur Lengkap - December 16, 2024
- Kamera Saku Layar Putar Murah Berkualitas Resolusi 4K Untuk Vlog & Selfie - December 15, 2024