Jadi Siapa Nih Cawapres Jokowi
Dikatakan, menjelang pendaftaran pasangan capres/ cawapres pada Agustus mendatang, untuk latar belakang suku, cawapres dengan latar belakang Jawa masih menjadi opsi yang paling disukai masyarakat Indonesia. Apalagi, setelah Pilkada serentak 2018, tiga wilayah di pulau Jawa, yakni Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Jawa Timur berhasil diduduki oleh orang-orang yang siap untuk mendukung sepenuhnya pemerintahan Jokowi. “Ini karena Pulau Jawa paling banyak penduduknya, sehingga menjadi kunci kemenangan pada Pilpres 2019,” kata Nona. Dikatakan pula, penggunaan isu suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA) tidak begitu menonjol. Walau di sejumlah daerah masih digunakan, tetapi isu SARA tidak akan semasif seperti yang terjadi pada Pilgub DKI Jakarta. Pengamat politik dari Universitas Indonesia (UI) Arbi Sanit mengatakan, dampak dari penguatan parpol pendukung Jokowi cukup berhasil di pilkada, seperti Partai Nasdem dan Partai Golkar. Tetapi, di sisi lain, potensi lawan juga menguat, seperti PAN dan PKS. “Jadi, mungkin pilkada memperjelas peta dasar pertarungan Pilpres 2019, yaitu Jokowi, Prabowo Subianto, atau orang yang dijagokan Prabowo. Saya kira, ada keraguan Prabowo untuk kembali maju mengingat pernah kalah melawan Jokowi pada Pilpres 2014,” kata Arbi Sanit. Setelah pilkada, Arbi melihat penentuan cawapres Jokowi semakin jelas, yakni berada di tangan Jokowi sendiri. Kalau melihat urutan-urutan terbanyak yang menang di pilkada, Partai Nasdem merupakan koalisi terpenting dalam porsi penentuan cawapres.
Perubahan Politik Pengamat politik dari Center for Strategic and Internattional Studies (CSIS) Arya Fernandez mengatakan, setelah pilkada akan terjadi perubahan politik di tingkat lokal. Hal itu ditunjukkan calon yang maju di luar pemerintah cukup mengejutkan, seperti di Jateng dan Jabar, ditambah lagi calon dari koalisi parpol pemerintah kalah di Sumatera Utara (Sumut) dan Kalimantan Timur (Kaltim). “Perubahan tidak hanya terjadi di kubu Jokowi, tetapi juga di kubu Prabowo. Walau Khoffah Indar Parawansa dan Ridwan Kamil (RK) mendeklarasikan dukungan kepada Jokowi, saya cukup jauh,ya. Selisih suara RK dengan pasangan Asyik sangat tipis yakni hanya sekitar 3%. Posisi RK tidak powerful juga. Sama halnya dengan Khoffah di Jatim,” katanya. Dikatakan, basis dukungan RK dengan Jokowi di Jabar beririsan. Oleh sebab itu, Jokowi harus ekstra keras bekerja di Jabar karena wilayah itu menjadi basis Prabowo di pilpres lalu. Menurutnya, pasangan Asyik (Gerindra-PKS) menunjukkan konsolidasi di Jabar cukup kuat. Arya memperkirakan, perolehan suara Jokowi di Jabar tidak akan jauh berbeda dengan perolehan suara RK pada pilkada lalu. “Peta politik selalu akan berubah-ubah dengan posisi menguatnya parpol nonpemerinah di Pulau Jawa.
Saya kira, Jokowi akan mempertimbangkan calon di luar Jawa. Kekalahan PDI-P di Jabar dan daerah lainnya akan memperkuat mitra parpol lain di luar pemerinahan,” katanya. Menurut Arya, profesional akan kesulitan dapat posisi jadi cawapres Jokowi, apalagi partai juga berkieinginan kadernya menjadi cawapres. Peneliti Senior Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (Formappi) Lucius Karus menambahkan, isu-isu seputar SARA masih bisa digunakan oleh lawan politik Jokowi. Isu ini digunakan jika pihak lawan Jokowi tidak mempunyai konsep membangun Indonesia. “Jika tidak memiliki konsep dan program, bisa saja isu SARA masih digunakan lawan politik untuk mengalahkan Jokowi,” ujar Lucius. Dalam konteks ini, ujarnya, penggunaan isu SARA bergantung pada profl capres dan cawapres yang melawan Jokowi. Jika mereka adalah fgur yang bermasalah, maka isu SARA potensial untuk digunakan sebagai bahan kampanye. Menurut Lucius, pemilih telah memiliki kesadaran tentang pemimpin daerah ideal yang semestinya mempunyai kapasitas untuk membangun daerah. Kesadaran itu membuat kampanye bermateri SARA atau isu primordial menjadi kalah populer dibandingkan dengan materi soal program atau integritas calon. Belum Dibahas Sekretaris Jenderal DPP Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) Hasto Kristiyanto mengatakan, hingga saat ini belum ada pembicaraan dan bahkan kesimpulan soal siapa yang bakal menjadi cawapres pendamping Jokowi. “Kami (partai-partai pendukung) belum melakukan pembahasan,” kata Hasto.
Menurut dia, isu soal nama bakal cawapres ini tak mudah. Sebab siapa pun yang mendampingi Jokowi sebagai cawapres harus bisa bersatu padu dengannya. Cawapres itu juga harus memiliki komitmen ideologi dan politik yang sama dengan Jokowi, sehingga prosesnya pasti tidak mudah. “Ini masih dilakukan dialog dan tidak lupa juga kontemplasi. Itu harus dilakukan dengan baik, karena kita berbicara soal pemimpin,” ujarnya. Yang jelas, kata Hasto, bila ditanya mekanisme penentuan cawapres Jokowi, pada saatnya para ketua umum partai politik pendukung akan bertemu. Lalu, mereka bertemu Jokowi untuk mendengarkan pandangan serta sikap dia terkait masalah tersebut. Ketua DPP Partai Golkar bidang Media dan Pengalangan Opini Tb Ace Hasan Syadzily menambahkan, penentuan cawapres Jokowi akan dilakukan secara bilateral dan multilateral. Secara bilateral dilakukan antara Jokowi dengan ketua umum partai pendukung. Sementara, secara multilateral adalah mempertemukan Jokowi dengan para ketua umum partai pendukung. Dikatakan, Partai Golkar mengusulkan Ketua Umum Airlangga Hartarto untuk bisa mendampingi Jokowi. Airlangga sudah dekat dan bisa bekerja sama dengan Jokowi, karena saat ini menjabat sebagai Menteri Perindustrian. “Kalau dari perspektif partai, Golkar memang mendorong kader, yakni Pak Airlangga, untuk menjadi cawapres. Tetapi, kami tidak bisa menentukan sendiri dan tidak bisa mendesak-desak Pak Jokowi. Yang mau bukan hanya Partai Golkar, tetapi ada fgur-fugur lain yang mau. Semua dikembalikan kepada Pak Jokowi,” jelas Ace.
- Fungsi Handycam Vs Kamera, Pilih yang Mana ? - December 16, 2024
- Kamera DSLR Canon dengan Wifi | SLR Termurah Fitur Lengkap - December 16, 2024
- Kamera Saku Layar Putar Murah Berkualitas Resolusi 4K Untuk Vlog & Selfie - December 15, 2024